DEFINISI PENGATURAN, KARAKTERISTIK GCG DAN KAITANNYA
DENGAN ETIKA BISNIS
Fadhila Fitria C (13214743)
Irfansyah Kuteh (15214454)
La Ode Muh.Saiful (15214953)
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen
BAB I
ETIKA DAN BISNIS SEBAGAI SEBUAH PROFESI
1.1.
Definisi Etika Bisnis
Perkembangan dunia bisnis yang cepat dan dinamis
pada saat ini, perlu diimbangi dengan aturan-aturan atau norma-norma untuk
mengatur bisnis tersebut.Hal ini, ditujukan agar pihak-pihak terkait dalam
aktivitas bisnis dapat berjalan dengan baik, lancer dan berkesinambungan serta
dapat mendatangkan manfaat bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Etika berasal dari bahas Yunani “Ethos” yang berarti
adat atau kebiasaan. Hal ini berarti bahwa etika terkait dengan nilai-nilai,
tata cara hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari
satu generasi ke generasi lain. Pengertian etika juga dapat dirumuskan sebagai
refleksi kritis dan rasional mengenai:
1.
Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik
sebagai manusia.
2.
Masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan
norma-norma moral yang umum diterima.
Suatu etika membutuhkan evaluasi kritis atau seluruh
situasi yang terkait dibutuhkan informasi sebanyak mungkin baik berupa nilai
dan norma maupun informasi empiris tentang situasi yang belum terjadi maupun
yang sudah terjadi. Dalam Bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran
manusia untuk bertindak secara otonom bukan secara heteronom. Etika bermaksud
membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat
dipetanggungjawabkan.Bebas dan bertanggungjawab adalah hal pokok dari otonom
moral yang merupakan salah satu prinsip utama moralitas.
Selain uraian di atas, dapat dikatakan bahwa etika
bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan
salah.Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijkan, institusi dan prilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Dalam menciptakan etika bisnis, ada hal-hal yang
perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1.
Pengendalian diri
2.
Pengembangan tanggung jawab sosial bisnis (social responsibility)
3.
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi.
4.
Menciptakan persaingan yang sehat
5.
Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6.
Menghindari sifat KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang dapat
merusak tatanan moral.
7. Harus mampu menyatakan hal benar itu
adalah benar
8.
Membentuk sikap paling percaya antara golongan pengusaha kuat dan
golongan pengusaha ke bawah
9.
Konsekuen dan konsisten dengan aturan-aturan yang telah disepakati
bersama
10.
Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati (sense of belonging)
11.
Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum
positif yang berupa peraturan maupun perundang-undangan
Permasalahan yang dihadapi dalam etika bisnis pada
dasarnya ada tiga jenis, yaitu:
1.
Sistematik, yaitu masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis
pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum,
dan sistem sosial lainnya di mana bisnis beroperasi.
2.
Korporasi, yaitu permasalahan korporasi yang muncul dalam perusahaan
bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan dalam perusahaan-perusahaan tertentu.
Permasalahan ini mencangkup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan,
praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.
3.
Individu, yaitu permasalahan individual dalam etika bisnis adalah
pertanyaanyang muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini
termaksud pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan, dan karakter
individu.
1.2.
Etiket, Moral, Hukum dan Agama
1.2.1.
Etika dan Etiket
Etiket berasal dari bahasa Prancis, yaitu ethiquete
yang berarti tata cara pergaulan yang baik (sopan santun). Sedangkan etika
berasal dari bahasa Yunani/Latin yang berarti falsafah moral dan merupakan cara
hidup yang baik dan benar dilihat dari sosial, budaya dan agama. Keduanya
memiliki kesamaan, yaitu:
1. Mempunyai
objek yang sama, yaitu perilaku atau tindak tanduk manusia.
2.
Mengatur perilaku manusia secara normatif, yang berarti bahwa perilaku
manusia dan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Adapun perbedaan antara etika dan etiket, yaitu antara lain:
1.
Etiket menyangkut cara melakukan suatu perbuatan. Sedangkan etika tidak
terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan. Etika memberi norma tentang
perbuatan itu sendiri.
2. Etiket
hanya berlaku untuk pergaulan. Artinya etiket berlaku pada saat ada orang lain
yang melihat. Sedangklan etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain.
3.
Etiket bersifat relatif di mana yang dianggap tidak sopan dalam sebuah
kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Etika lebih
absolut.Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip
etika yang tidak dapat diubah.
4.
Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah sedangkan etika
memandang manusia dari segi dalam. Penipu dapat saja bertutur kata dengan
lembut, berarti memegang etiket, namun itu dilakukan untuk menipu, berarti
mempunyai etika yang tidak baik.
1.2.2.
Etika dan Moral
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan
norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan
bagaimana orang harus hidup. Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan
ajaran moral.
Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan
merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai
lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Etika
dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
1.
Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai
manusia.
2.
Masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma
moral yang umum diterima.
1.2.3.
Etika dan Hukum
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab, di mana etika terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu
meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika),
dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).Berbeda dengan hukum, di
mana sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Etika dan hukum merupakan pedoman perilaku manusia
sekaligus instrumen sosial untuk mewujudkan tertib kehidupan bermasyarakat yang
lahir dari pemikiran dasar tentang manusia dan kemanusiaan.Hukum diturunkan
dari etika, maka dapat dikatakan bahwa semua pelanggaran hukum adalah
pelanggaran etika.Keberadaan hukum tidak menghilangkan fungsi etika sebagai
pedoman perilaku dan instrumen kontrol sosial.Bahkan dalam perkembangannya
etika semakin dibutuhkan untuk meringankan kerja hukum, yaitu untuk mencegah
dan sebagai deteksi dini adanya potensi pelanggaran hukum.
1.2.4.
Etika dan Agama
Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan
orientasi moral.Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam
agamanya.Akan tetapi agama memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan
orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan
berikut:
1.
Etika dapat membantu menggali rasionalitas agama.
2.
Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan
interpretasi yang berbeda
3.
Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional, sedangkan agama pada
wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang
mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama.
1.3.
Klasifikasi Etika
Menurut Bertens (2004) bedasarkan perkembanganya,
etika dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif, etika normatif dan
meta etika.
1.
Etika deskriptif
Etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral
dalam arti yang luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk,
perbuatan yang diwajibkan, diperbolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat,
lingkungan budaya, atau periode sejarah.Sifat emperis dari etika deskriptif
menjadikannya lebih tepat dimasukan ke dalam bahasa ilmu pengetahuan dan bukan
filsafah.
2.
Etika normatif
Etika normatif merupakan bagian penting dari etika
yang bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional dan dapat diterapkan dalam perbuatan nyata.Etika normatif
memberikan petunjuk mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak bolehnya
suatu perbuatan.
3.
Meta etika
Meta etika tidak membahas persoalan moral dalam arti
baik atau buruk suatu tingkah laku, melainkan membahas bahasa-bahasa moral.Meta
etika seolah-olah bergerak pada taraf yang lebih tinggi dari perilaku etis,
dengan bergerak pada taraf bahasa etis.
Secara umum, etika dapat dibagi menjadi:
1.
Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori
etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai
pengertian umum dan teori-teori.
2.
Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus. Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
a.
Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap
dirinya sendiri.
b.
Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola
perilaku manusia sebagai anggota umat manusia. Etika sosial menyangkut hubungan
manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan
(keluarga, masyarakat, negara). Etika sosial terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:
•
Sikap terhadap sesama
•
Etika keluarga
•
Etika profesi
•
Etika politik
•
Etika lingkungan
•
Etika idiologi
1.4.
Konsepsi Etika
Menurut Velasquez (2005), untuk memudahkan pemahaman
lingkup etika, etika mempunyai konsep pemahaman yang berlandaskan pada lima isu
umum, sebagi berikut:
1.
Bribery
Bribery adalah tindakan menawarkan, memberi, dan
menerima suatu nilai dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan pejabat
(official) untuk tidak melakukan kewajiban publik atau legal mereka.Nilai
tersebur dapat berupa pembayaran langsung atau barang.
2.
Coercion
Coercion adalah tindakan pemaksaan, pembatasan,
memaksa dengan kekuatan atau tangan atau ancaman hal tersebut mungkin aktual,
langsung atau positif di mana kekuatan fisik digunakan untuk memaksa tindakan
melawan seseorang atau secara tidak langsung mempengaruhi yang mana satu pihak
dibatasi oleh penundukan yang lain dan dibatasi kebebasannya.
3.
Deception
Deception adalah tindakan manipulasi orang atau
perusahaan dengan menyesatkannya. Dengan kata lain, deception adalah kegiatan
menipu, sengaja menyesatkan dengan tindakan atau perkataan yang tidak benar,
membuat pernyataan yang salah atau representasi, mengekspresikan atau
menyatakan secara tidak langsung, menyinggung fakta yang ada saat ini atau yang
lalu.
4.
Theft
Theft berarti mencuri.Konsep theft adalah mengambil
atau mengklaim sesuatu yang bukan milik menjadi milik pribadi atau golongan.
5.
Unfair discriminatio
Unfair discriminatio adalah perlakuan yang tidak
adil atau tidak normal atau hak yang tidak normal pada seseorang karena ras,
umur, jenis kelamin, kebangsaan, atau agama, kegagalan memperlakukan orang
secara sama ketika tidak ada perbedaan yang beralasan dapat ditemukan antara
menolong dan tidak menolong.
BAB II
PERAN SISTEM PENGATURAN GOOD GOVERNANCE
2.1
Definisi GCG (Good Corporate Governance)
Fadhila Fitria
C. (13214743)
Istilah Corporate Governance (CG) pertama kali
diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992, yang laporannya dikenal
sebagai Cadbury Report (Tjager dkk., 2003). Corporate Governance is refers to a
group of people getting together as one united body with the task of
responsibility to direct, control and role with authority. On a collective
effort this body empowered to regulate, determine, restrain, urban exercise the
authority given it (Josep, 2002).
Good Corporate Governance (GCG) berdasarkan
shareholding theory mengatakan bahwa, perusahaan didirikan dan dijalankan
bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraaan bagi para pemilik/pemegang saham
sebagai akibat dari investasi yang dilakukannya.
Definisi Good Corporate Governance menurut Cadbury
Committee berdasarkan pada teori stakeholder ialah sebagai berikut :
“A set of rule that define the relationship between
shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and
external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”,
(seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer,
kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya
baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Corporate
Governance diarahkan untuk menciptakan suatu bentuk organisasi bisnis yang
bertumpu pada aturan-aturan manajemen modern yang profesional dengan konsep
dedikasi yang lebih bertanggungjawab. Definisi yang tidak jauh berbeda juga
dinyatakan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development),
menyatakan bahwa Corporate Governance merupakan suatu sistem yang bertujuan
untuk mengendalikan dan mengarahkan peusahaan agar dapat mendistribusikan hak
dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perusahaan dengan baik
sehingga dapat menciptakan nilai tambah bagi seluruh pemegang kepentingan
(stakeholders).
Inti dari corporate governance adalah peningkatan
kinerja perusahaan melalui pemantauan kinerja manajemen dan adanya
akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan
kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Kaihatu, 2006). GCG dianggap mampu
mengurangi masalah keagenan karena dengan adanya pengawasan maka perilaku
oportunis manajer dan kecenderungan untuk menyembunyikan informasi demi
keuntungan pribadi dan dapat mengarah pada peningkatan pengungkapan perusahaan.
Secara umum istilah governance ditujukan untuk
sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan, dalam arti lebih ditujukan pada
tindakan yang dilakukan eksekutif perusahaan agar tidak merugikan para
stakeholder. Good Corporate Governance menyangkut orang (moralitas), etika
kerja, dan prinsip kerja yang baik. Dalam prakteknya ada empat model
pengendalian perusahaan yaitu;
1.
Simple financial model. Ada konflik kepentingan antara pemilik dan
manajer. Karena tidak memiliki saham, dikhawatirkan manajer akan banyak
merugikan pemilik saham. Maka diperlukan kontrak insentif (misalnya hak
pemilikan, bonus, dan sebagainya), atau aturan-aturan yang melindungi
kepentingan pemilik.
2.
Stewardship model. Berbeda dengan model pertama, manajer dianggap
steward, sehingga tidak terlalu perlu dikontrol. Ini bisa terjadi pada
perusahaan keluarga, dimana direksi dikendalikan ketat oleh pemegang saham,
sehingga diperlukan direktur yang independen.
3.
Stakeholder model. Perusahaan merupaka satu sistem dari stakeholder
dalam suatu sistem masyarakat yang lebih luas. Suara stakeholder diakomodasi
dalam struktur dewan direksi. Karyawan diusahakan bekerja seumur hidup.
4.
Political model. Pemerintah memiliki pengaruh besar, misalnya dalam
mengatur jumlah maksimum kepemilikan saham, dan sebagainya.
2.2
Prinsip-Prinsip dan Struktur Good Corporate Governance
La Ode Muhammad Saiful (15214953)
2.2.1
Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Panduan Pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik
atau good corporate governance charter disusun dengan tujuan untuk menjadi
suatu sistim kebijakan yang bersifat holistik dan terintegrasi dan memiliki
kedudukan sebagai induk dari semua kebijakan. good corporate governance charter
merupakan pedoman bagi penerapan good corporate governance pada berbagai macam
elemen penerapan good governance dalam perusahaan.
Dengan demikian seluruh peraturan, keputusan atau
kebijakan yang dikeluarkan perusahaan harus merujuk dan menyebut good corporate
governance charter sebagai standar dan pedoman dasar dalam pembentukannya.
Pemberlakuan good corporate governance charter juga untuk memastikan bahwa
setiap kebijakan yang ada di perusahaan disusun dengan pendekatan yang
diarahkan untuk mendorong manajemen mampu melakukan check and balance pada
setiap proses bisnis di tiap level maupun fungsi manajemen berdasarkan prinsip
prinsip good corporate governance.
Pengimplementasian good corporate governance
memerlukan komitmen dari seluruh elemen organisasi dan kepatuhan terhadap
aturan-aturan yang mengikat di dalamnya. Terdapat lima prinsip yang terkandung
dalam good corporate governance yang disebutkan dalam Pedoman umum good
corporate governance Indonesia, yaitu:
1.
Akuntabilitas (Accountability)
Prinsip ini memuat setiap kewenangan yang harus dimiliki
oleh dewan komisaris dan direksi beserta setiap kewajibannya kepada pemegang
saham dan stakeholder lainnya.
2.
Pertanggung Jawaban (Responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan
manajernya melakukan kegiatan secara bertanggung jawab.
3.
Keterbukaan (Transparancy)
Pada prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara
tepat waktu dan akurat agar pemegang saham dan orang lain dapat mengetahui
keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
4.
Kewajaran (Fairness)
Pada prinsip ini, perusahaan akan melarang
praktik-praktik tercela yang dilakukan oleh orang dalam agar tidak merugikan
pihak lain.
5.
Kemandirian (Independency)
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar
dapat bertindak secara mandiri sesuai dengan peran dan fungsi yang dimiliki
sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku.
2.2.2
Struktur Good Corporate Governance
Struktur Corporate Governance diperlukan agar pelaksanaan
Corporate Governance mudah untuk dilaksanakan. Ada dua pola struktur Corporate
Governance yang digunakan dalam mengelola perusahaan, yaitu:
1.
One Tier System
One Tier System juga disebut sebagai sistem satu
tingkat (Single Board System). Sistem ini digunakan oleh negara Anglo-Saxon
seperi Amerika dan Inggris. Dalam sistem satu tingkat, peran dewan komisaris
dan dewan direksi dijadikan dalam satu wadah, yang disebut dengan Board of
Director. Dewan direksi terdiri dari direktur eksekutif dan direktur
non-eksekutif.
2.
Two Tiers System
Two Tiers System disebut juga Sistem Dua Tingkat
yang berasal dari Sistem Hukum Kontinental Eropa. Dalam sistem ini peran dewan
komisaris dan dewan direksi dipisah secara jelas. Dewan Direksi bertugas
mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan Dewan
Komisaris. Sedangkan dewan komisaris bertugas mengawasi tugas-tugas dewan
direksi. Negara-negara yang menggunakan Two Tiers System adalah Belanda,
Jerman, dan Indonesia
2.3
Commision Of Human
Dio Aikel (13214188)
Commission of Human biasanya sering disebut dengan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak fundamental yang tidak dapat yang mana
karena ia adalah seorang manusia. Menurut Mariam Budiardjo (1982) HAM adalah
hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup masyarakat. Hak ini ada pada
manusia tanpa membedakan bangsa, ras, agama, golongan, jenis kelamin, karena
itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa semua
orang harus memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan bakat dan
citacitanya.
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai
seseorang sejak ia dalam kandungan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan
tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1,
pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Dalam teori perjanjian bernegara, adanya pactum
unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis adalah perjanjian antara
individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara,
sedangkan pactum unionis adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa
yang dipiliah di antara warga negara tersebut (pactum unionis).
Thomas Hobbes mengakui adanya pactum subjectionis
saja. John Lock mengakui adanya pactum unionis dan pactum subjectionis dan JJ
Roessaeu mengakui adanya pactum unionis. Ketiga paham ini berpendapat demikian.
Namun pada intinya teori perjanjian ini mengamanahkan adanya perlindungan Hak
Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh penguasa, bentuk jaminan itu
mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).
Dalam kaitannya dengan itu, HAM adalah hak
fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia.
misalnya dalam deklarasi kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang
dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak
berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan
kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk
tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya.
Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM
setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab,
utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya,
termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan
menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan
hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia
bisa disebut sebagai manusia.
Berikut dipaparkan berbagai pendapat tentang definisi
Hak Asasi Manusia, anrata lain:
1.
Thomas Jefferson, menyatakan bahwa, HAM pada dasarnya adalah kebebasan
manusia yang tidak diberikan oleh Negara. Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang
melekat pada eksistensi manusia individu. Pemerintah diciptakan untuk
melindungi pelaksanaaan hak asasi manusia (Majalah What is Democracy)
2.
Universal Declaration of Human Right dalam pembukuan dari deklarasi
dinyatakan bahwa HAM adalah hak kodrati yang diperoleh oleh setiap manusia berkat
pemberian Tuhan Seru Sekalian Alam, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari
hakekat manusia. Oleh karena itu setiap manusia berhak memperoleh kehidupan
yang layak, kebebasan, keselamatan dan kebahagiaan pribadi (Majalah What is
Democracy)
3. Filsuf-filsuf jaman Auflarung abad
17 – 18, HAM adalah hak-hak alamiah karunia Tuhan yang dimiliki oleh semua
manusia dan tidak dapat dicabut baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.
4.
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Hak asasi adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati, universal dan abadi sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh diganggu
gugat dan diabaikan oleh siapapun.
2.4
Kaitan Good Corporate Governance dengan Etika Bisnis
Irfansyah Kuteh (15214454)
Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu istilah
yang sudah tidak asing lagi. Di Indonesia istilah ini sudah menjadi bahan
diskusi yang serius, sejak terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Krisis yang
terjadi di Indonesia ini menurut para praktisi pakar ekonomi disebabkan oleh
belum adanya atau lemahnya pelaksanaan Good Corporate Governance di
perusahaan-perusahaan. Pelanggaran prinsip-prinsip GCG terjadi karena lemahnya
peraturan perundang-undangan di Indonesia, minimnya peraturan akan batasan
antara hak dan kewajiban pihak yang terkait dengan kinerja perusahaan, serta
tercermin dari kurang tersedianya informasi untuk melakukan analisis, adanya
investasi berlebihan, kurang atau menurunnya produktivitas perusahaan.
Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, Pemerintah makin
menyadari perlunya penerapan good governance di sektor publik, mengingat
pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya
good public governance dan partisipasi masyarakat. Dengan latar belakang
perkembangan tersebut, maka pada bulan November 2004, Pemerintah dengan
Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004 telah
menyetujui pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri
dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dengan telah dibentuknya KNKG,
maka Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP.31/M.EKUIN/06/2000 yang juga mencabut
keputusan No. KEP.10/ M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG dinyatakan
tidak berlaku lagi.
KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang
telah di terbitkan pada tahun 2001 agar sesuai dengan perkembangan. Pada
Pedoman GCG tahun 2001 hal-hal yang dikedepankan adalah mengenai pengungkapan
dan transparansi, sedangkan hal-hal yang disempurnakan pada Pedoman Umum GCG
tahun 2006 adalah :
a.
Memperjelas peran tiga pilar pendukung (Negara, dunia usaha, dan
masyarakat) dalam rangka penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan GCG.
b.
Pedoman pokok pelaksanaan etika bisnis dan pedoman perilaku.
c.
Kelengkapan Organ Perusahaan seperti komite penunjang dewan komisaris
(komite audit, komite kebijakan risiko, komite nominasi dan remunerasi, komite
kebijakan corporate governance)..
d.
Fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi yang mencakup lima hal dalam
kerangka penerapan GCG yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian
internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial.
e.
Kewajiban perusahaan terhadap pemangku kepentingan lain selain pemegang
saham seperti karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat serta pengguna produk dan
jasa.
f.
Pernyataan tentang penerapan GCG.
g.
Pedoman praktis penerapan Pedoman GCG.
Melalui penerapan Good Corporate Governance,
corporate social responsibility dan penerapan kode etik dalam berbisnis, pelaku
bisnis mempunyai tujuan untuk memajukan perusahaan, negara, lingkungan dan
masyarakat. Dengan adanya etika dalam berbisnis perusahaan tidak hanya mengejar
keuntungan semata. Namun, perusahaan merupakan motor utama penggerak kehidupan
masyarakat dan negara. Pada dasarnya, manusia hidup membutuhkan beberapa
kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak
perusahaan yang mengabaikan praktik bisnis yang tidak beretika. Beberapa faktor
yang dianggap menjadi pemicu dari masih dipertahankannya bisnis yang tidak
beretika antara lain:
1.
Banyaknya kompetitor baru dengan produk mereka yang lebih menarik
2.
Kurangnya kesadaran moral utilarian (moral yang berkaitan dengan
memaksimumkan hal terbaik bagi orang sebanyak mungkin)
3.
Menurunkan formalism etis (moral yang berfokus pada maksud yang
berkaitan dengan prilaku dan hak tertentu)
4.
Pandangan yang salah dalam menjalankan bisnis
DAFTAR PUSTAKA
Suyanto, D., dan Putri Harisa W. 2016. Etika Bisnis. Yogyakarta:
CAPS (Center
For Academic Publishing Service).
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis Bagi Pelaku
Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sigit, H. T. 2012. Etika Bisnis Modern. Yogyakarta:
Unit Penerbit dan Percetakan
Sekolah Tingg Ilmu Manajemen YKPM.
Fahmi, Irham. 2013. Etika Bisnis: Teori, Kasus dan
Solusi. Bandung: Alfabeta
Bertens, K. 2000. Pengantar Etik Bisnis. Yogyakarta:
Kanisius
Keraf, Sonny. 1998. Etika Bisnis: Tuntutan dan
Relevansinya. Yogyakarta:
Kanisius